Hidupku hancur. Itu adalah kata-kata yang biasanya dikatakan oleh orang yang putus asa dan tidak ada pengharapan sama sekali dalam hidupnya dan kata-kata itulah yang sekarang keluar dari mulutnya. Ia merenungi nasibnya sendiri dengan tekun. Semua hal yang ia ketahui telah musnah. Orang-orang yang mendukungnya perlahan menjauh. Orang-orang yang menyembahnya meninggalkannya dengan acuh. Orang-orang yang memujanya telah berjalan memunggunginya. Satu persatu semuanya menghilang bak asap yang membumbung tinggi di angkasa. Sama sekali tidak meninggalkan sepotong jejakpun dalam dirinya. Ia menangis tanpa air mata. Merongrong dalam hati. Menyumpahi langit dan bumi. Menyumpahi apapun yang dilihat matanya yang mulai kabur karena usia. Mulutnya membuka dan menutup dengan cepat untuk menyumpahi hidupnya. Hidupnya yang hancur.
Hanya satu hal dalam dirinya yang belum musnah dan hancur. Yaitu nyawanya sendiri.
Hanya nyawanya yang masih ada dan masih mendiami tubuhnya yang lunglai tergeletak di tanah.
Mengapa ia tidak memusnahkan nyawanya saja, sama seperti semua miliknya yang telah musnah. Untuk apa ia masih mempertahankan nyawanya itu. Nyawanya tidak akan membantunya mendatangkan emas dan wanita seperti yang dulu ia dapat lakukan dengan mudah.
Perlahan-lahan ia membuka matanya, menerawang ke angkasa yang biru. Nyawanya masih ada bersamanya. Masih diam dalam dirinya.
Untuk apa ia mempertahankan nyawanya itu. Musnahkan saja.
Apakah nyawanya itu berharga. Apakah nyawanya itu bermakna. Apakah nyawanya itu berguna.
Ia menutup matanya lagi. Pelan – pelan.
Ia kembali merenungi nasibnya. Nasib yang sangat memuakkan. Sangat menyedihkan dan mengecewakan. Bagaimana bila nyawanya yang meninggalkan dia. Ia tiba-tiba berpikir. Apakah ia akan sedih, atau kecewa, ataupun merana seperti keadaanya sekarang.
Entah, pikirnya malas.
Nyawanya masih menancap dalam dirinya. Sama sekali tidak merasa terancam akan rencana yang akan dilakukannya terhadap nyawanya.
Perlahan ia kembali membuka matanya. Ia menyentuh dadanya. Merasakan denyut jantungnya. Jantungnya masih berdetak kencang, sekencang saat ia mendapatkan hartanya dulu. Nafasnya masih sama sesaknya ketika ia menikah dulu.
Apa yang sebenarnya berubah dari dirinya.
Perlahan ia menyentuh kepalanya. Tidak ada. Tidak ada yang berubah. Kecuali wajahnya yang mulai keriput dan rambutnya yang jatuh sehelai demi sehelai tiap harinya.
Ia kembali memikirkan dirinya dulu yang begitu berkuasa.
Bagai matahari di malam hari.
Sekarang hidupnya bagai butiran debu di punggung. Tidak terlihat namun sangat mengganggu.
Ia kembali mengingat memorinya ke saat-saat ia masih senang dan gembira menjalani hidup yang susah.
Ia menyesal. Ia kecewa. Sedih. Marah.
Hidupnya hancur. Musnah secara perlahan.
Ia pun berpikir untuk memusnahkan nyawanya untuk menyempurnakan kemusnahan yang dialaminya.
Ia membuka matanya menangis, menyadari kepolosan dari nyawanya.
Kepolosan nyawanya yang dengan senantiasa bersamanya senang ataupun sedih. Tampan ataupun jelek.
Nyawa adalah seseorang yang telah bersamanya sejak ia lahir. Bagian yang paling mengerti dirinya.
Nyawanya sama sekali tidak bersalah. Nyawanya tidak pernah menolak apapun yang akan ia lakukan.
Nyawanya tidak pernah ikut andil dalam kekejaman hidupnya.
Maka ia putuskan untuk menyelamatkan nyawanya bagian yang selalu bersamanya setiap saat. Saat ini ia dan nyawanya akan berjuang bersama. Bersama-sama sampai nanti tiba waktunya. SUMBER :harukaelsa.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar